Jumat, 23 Juni 2023

Pengalaman Pertama Di Tengah Hutan Bersama Tante Tari Dan Mamie || Cerpe...

Suatu hari mamie memintaku mengantarkannya ke pernikahan sepupunya di kota Solo minggu depan. Ternyata, tante tari akan ikut juga.Hari yang dinantikan itu pun tiba. Setelah kami menjemput Tante Tari di rumahnya, kami langsung berangkat. Perjalanan kami cukup menyenangkan kaHarisa cuaca cukup cerah dan tidak macet. Tetapi, di suatu daerah yang memiliki jalur tanjakan curam dan berkelok kelok, cuaca berubah. Tiba-tiba saja turun hujan yang sangat deras.

“Haris, ini menurut peta ada jalan pintas dari sini. Nih lihat bisa kalau kita lewat sini bisa menghindari macet karena lewat jalan-jalan kecil” kata Tante Tari yang duduk disampingku sambil menyerahkan hpnya kepadaku. “Kamu yakin Tari ?” Tanya mamie yang terlihat tidak yakin. “Yakin, tuh lihat mobil-mobil lain juga pada belok kesitu mbak” Tante Tari membalas. “Gimana Haris ? Mau gak lewat jalan pintas ?” Tanya mamie kepadaku. “Dicoba dulu deh mam…” jawabku.

Akhirnya kami mencoba jalan itu dengan harapan untuk menghindari kemacetan dan agar bisa cepat sampai di kota semarang untuk segera bisa beristirahat. Kami memang sudah merencanakan untuk menginap dulu di kota Semarang untuk beristirahat dan esoknya melanjutkan perjalanan.Hujan semakin deras saja dan jarak pandang semakin pendek. Suhu didalam mobil semakin dingin sehingga mamie memakai jaketnya, sedangkan Tante Tari tampak merapatkan pakaiannya saja. Kami terus mengikuti jalan yang terdapat di peta itu, namun lama-lama aku mulai curiga karena suasana jalan semakin sepi dan sekeliling kami adalah hutan.Aku menjalankan mobil secara perlahan. Suasana di kanan kiri gelap gulita, hanya tampak bayangan batang-batang pohon dan semak belukar. Penderitaan lengkap sudah ketika ban mobil terperosok di tanah yang lunak akibat hujan tadi dan mobilku tak kuat untuk keluar dari lubang itu. Mesin sudah ku gas penuh tetapi putaran ban yang kencang itu tetap tidak mampu mendorong mobilku untuk lepas. “Mam…gimana nih, mobilnya gak bisa jalan” Kataku kepada mamie.

“Kamu sih Tari, asal ambil jalan saja” Mamie sedikit menyalahkan Tante Tari. “Yah kan aku gak tahu kalau bakal kayak gini mbak” Tante Tari menjawabnya dengan nada bersalah, kemudian dia mengecek hpnya dan menggerutu, “Duh sinyalnya hilang lagi”keluhnya. “Mam, tolong pegang kemudi, Haris mau keluar dorong mobilnya” Ujarku pada mamieku.Dengan masih ngomel, mamie bertukar posisi di belakang kemudi begitu aku keluar. Hujan segera membuatku basah kuyub. Sial, gumamku dalam hati. Ban itu begitu dalam terperosok, membuat setiap usahaku sia-sia selain hanya menghasilkan semburan lumpur ke celana pendek dan kausku. Kemudian aku sadari, bahwa hanya sekian meter di belakang mobil adalah sekumpulan pohon-pohon besar, demikian juga di depan.Sudah dua jam menunggu tetapi hujan tidak kunjung reda. Dari kejauhan aku melihat suatu cahaya yang bergerak. Lama-lama cahaya itu mulai mendekat. Dari kegelapan muncul sesosok lelaki paruh baya, memakai caping lebar. Setelah dia sampai di mobil kami dia mengetuk kaca pintu mobil kami. Aku segera menurunkan kacanya.

“Ada yang bisa saya bantu, le…?’’, tanyanya dengan suara yang parau, namun cukup nyaring terdengar di tengah gemuruh hujan dan guntur malam itu. “Kami kesasar dan mobil kami terperosok pak”, jawabku setengah berteriak karena biar suaraku tidak kalah dengan suara hujan saat itu. “Wah susah juga ngedorongnya kalau hujan- hujan gini. Lagian kalau berhasil, nanti didepan juga bakal terperosok lagi, banyak lubangnya di depan” Balas si bapak tua itu. Tetapi orang tua itu lantas membantuku mendorong agar mobil itu keluar dari jebakan lubang. Namun tetap tak berhasil. Kini bahkan akibat kikisan tanah, seluruh ban mobil itu terperosok. “Sebaiknya tunggu besok pagi saja, le…kampung terdekat juga jaraknya 15 kilo lebih. Kalau sampeyan mau, malam ini nginap digubuk saya saja sama anak dan istri saya”, ujarnya dengan datar namun sepertinya tulus. Daripada aku tinggal di mobil dan tiba-tiba kaca diketuk kuntilanak atau gendruwo lebih baik aku turuti tawarannya itu. Namun tentu saja, aku harus minta persetujuan mamie dan Tante Tari dahulu. Setelah berdebat, akhirnya mereka mau juga. Kami pikir lebih baik berada di tempat yang kering dan hangat daripada terjebak di dalam mobil.Jalan setapak yang becek di tengah hutan itu membuat mamie dan tante berkali-kali terpleset, membuatku berkali-kali harus memapah mereka, tentu saja setelah terlebih dahulu dihadiahi sumpah serapah mereka. Payung yang mereka bawa terasa jadi percuma, karena tak mampu mencegah mereka menjadi basah kuyub.

Cukup lama kami berjalan hingga kami melihat gubuk dari bambu dengan cahaya remang-remang dari dalamnya. Rumah itu tampak sederhana, pantas si lelaki misterius itu menyebutnya gubuk. Sebuah rumah limas khas jawa dengan empat tiang kayu di bagian tengah, beratap genteng tanpa plafon, berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah.Di dalamnya hanya ada meja kursi tua, dua dipan sederhana dan dua lemari reyot menempel di dinding. Dua lampu teplok yang kacanya telah menghitam menjadi alat penerang rumah tersebut, dan satu-satunya alat hiburan adalah radio transistor tua yang memperdengarkan suara pertunjukan wayang kulit mengiringi gemuruh hujan di luar, menambah suasana magis semakin terasa di malam itu.Sial bagi Tante Tari. Dalam cahaya yang remang-remang, tak sengaja aku melihat Tante Tari yang menggunakan atasan merah jambu, Asesoris hitamnya tampak terceplak karena akibat bajunya yang basah kena air hujan sehingga membuat pakaiannya menjadi agak trans-paran. Menyadari akan hal itu, Tante Tari segera menutupinya.Sampai digubuk itu, tampak sepasang perempuan di atas dipan tengah tertidur, terdiri dari wanita separuh baya dan satu lagi seorang gadis yang kira-kira seusiaku. “ayo cepat bangun, ada tamu, cepat bikinkan minum” ujar si bapak membangunkan isteri dan anaknya.

Dengan segera mereka beranjak bangun meninggalkan dipan yang hanya beralaskan tikar dan selimut kumal itu. Untuk ukuran desa sekalipun, si gadis berwajah cukup manis, sementara ibunya sedikit lebih besar dengan wajah biasa saja. Si anak memakai kain batik lusuh yang dililitkan menjadi kemben.Sedangkan si ibu memakai kain sarung dari batik yang hanya diikat sebatas pinggangnya saja, layaknya kebiasaan wanita di desa.Dalam hati timbul rasa iba di hatiku melihat bagaimana miskinnya mereka, sekaligus juga bertanya-tanya bagaimana mereka bisa tinggal di tengah hutan dan terpencil seperti ini…? “kalian basah kuyub semua, sebaiknya ganti pakaian daripada masuk angin, silahkan ke belakang saja, kalau mau buang air dan bersih-bersih juga ada sumur” ujar si bapak itu.

Aku segera menyambar ranselku, tapi mamie dan Tante Tari saling bertatapan bingung, tentu saja, mereka meninggalkan tas pakaian mereka di bagasi mobil. Sial, nampaknya aku lagi yang harus mengambilnya. Namun sebelum perintah mereka keluar, si lelaki itu berkata,

“kalau mau biar pakai pakaian anak dan isteri saya saja, maaf kalau kurang berkenan” Aku menatap mamie dan Tante Tari dengan wajah memelas, berharap tidak diberi tugas untuk mengambil baju mereka di mobil.Mereka berdua akhirnya mengangguk. ”Maaf lho pak kalau ngerepotin” ujar Tante Tari.Dari dalam lemari reotnya itu si bapak mengeluarkan setumpuk pakaian. Setelah dilihat, pakaian tadi hanya berupa dua lembar kain batik yang agak using dan dua kaus lusuh. “Maaf bu, hanya ini pakaian yang kami punya”, kata si bapak menjelaskan.Mamie agak kaget sebenarnya saat itu, namun dalam keadaan seperti ini mamie harus menerimanya. “Tidak apa apa pak, makasih ya” Mamie dan Tante Tari saling berpandangan. Setelah itu pembicaraan singkat terjadi antara Tante Tari dan mamie.

“mamie sama tante duluan ya” ujar mamie tiba-tiba kepadaku sambil bergegas dengan menggamit tangan tante tari ke bagian belakang rumah yang dibatasi oleh dinding papan itu. Aku menunggu dengan duduk di kursi tua itu, sang lelaki paruh baya itu juga duduk di hadapanku sambil melinting temba-kau dengan kertasnya dan menyalakan roko’ nya itu.Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, namun sorot matanya sangat tajam dan berwibawa. dia juga tampak kekar menggambarkan kalau dia adalah seorang lelaki yang ulet. “Maaf, kalau boleh tahu, nama bapak siapa ?” tanyaku mencoba basa basi.

“Panggil saja Pak Simo” jawabnya sambil menghembuskan asap roko’ lintingannya yang beraroma aneh itu. “Enngh… bapak sudah lama tinggal di sini ?’’ tanyaku lagi. “Lebih dari tiga puluh tahun” jawabnya singkat. ”Ini satu-satunya tanah warisan bapak saya dulu, pekerjaan saya buruh tani dan sesekali ngobati orang” ujarnya lagi seolah-olah sudah tahu pertanyaanku berikutnya, walau aku sedikit tertegun dengan perkataan ngobati orang, tapi untuk tak menyinggungnya hal itu urung aku tanyakan.Tak lama kemudian Mamie dan Tante Tari kembali dengan memakai kaus lusuh dan menggunakan kain batik itu sebagai sarung. Sehingga menampakkan keindahan mereka berdua. Ditambah, kaus yang dipakai oleh mereka mempunyai beberapa robekan. Mamie dan Tante Tari tampak risih dengan penampilan mereka itu karena khawatir pemandangan indah itu akan membuat si bapak tua itu gelisa-h.

“Kamu jangan ke belakang dulu,Haris” ujar mamie yang menyadari akan keadaannya itu. Akhirnya mamie kembali ke belakang dan kembali keluar dengan hanya menggunakan kain yang diikat menjadi kemben. Tante Tari pun menyusul melakukan hal yang sama.Selain itu, kemben yang mereka pakai ternyata tetap tak mampu menutupi seluruh keindahan mereka berdua.Melihat pemandangan itu aku mulai berdesir dan keinginanku jadi bangkit. Tapi aku berusaha menjauhkan perasaan itu. Untuk itu, aku langsung beranjak ke belakang untuk berganti pakaian dengan kaus dan celana dari ranselku.Mamie dan tante tengah bercakap-cakap dengan lelaki pemilik rumah itu ketika aku tiba dari belakang. Aku segera bergabung. Pak Simo meladeni ocehan mereka dengan datar dan singkat. Matanya tajam menatap mamie dan tante, membuat mereka tampak rikuh dan mengurangi intensitas omongan mereka. Aku duduk diantara mamie dan tante tari. “Silahkan diminum mas, bu”, kata si anak sambil senyum penuh arti. Kurasa senyum itu ditujukan kepadaku. Si anak gadisnya kemudian duduk di dipan yang berseberangan dengan dipan kami. Disitu sudah ada si bapak dan si ibu yang sudah duduk duluan.

“Maaf bu, mas, hanya ini yang bisa kami sediakan”, kata si bapak ketika kami sedang menyantap hidangan yang mereka berikan.Minuman yang mereka sediakan adalah wedang jahe dan singkong rebus, cukup menghangatkan kondisi kami di tengah rintik hujan yang entah kapan akan reda.

“Tidak apa-apa pak, maaf sudah ngerepotin” kata Tante Tari. “Nama saya Simo, ini istri saya namanya Sekar, dan anak saya Asih, dia baru 18 tahun”, si bapak mengenalkan dirinya.Wow pikirku, gadis 18 tahun sudah secantik itu. “Kalian bisa bermalam disini dulu, nanti pagi sepertinya hujan sudah reda” kata Bu Sekar. “Gimana Mbak ?” Tanya Tante Tari. “Ya sudah gak papa, toh kita emang harusnya mau nginep dulu semalem di Semarang” jawab mamie.Bincang bincang kami terus berlanjut hingga malam makin larut. Kemudian mamie dan Tante Tari pamit untuk tidur. Sementara itu Pak Simo menyalakan roko’ nya dan keluar dari gubuk itu. Bu Sekar dan Asih bersiap tidur di dipan mereka yang tadi, sementara itu baik aku, mamie dan Tante Tari tidur di dipan yang tadi kami duduki.Malam semakin larut tapi aku tidak bisa tidur. Aku merasakan ada hal yang begitu aneh, aku merasakan kalau diriku semakin hangat dan keinginanku semakin menyala, apalagi disekelilingku ada empat wanita yang hanya memakai pakaian minimalis begitu. Aku juga melihat mamie dan tante tari yang sudah terlelap pun tampak mulai seperti orang gelisah. mereka berdua mulai tidak bisa diam dan juga mualai bersuara dengan pelan.

Apakah yang akan terjadi selanjutnya di rumah ditengah hutan di malam itu ?

NANTIKAN TERUS KISAH SERUNYA YA GUYS ! SEKIAN & TERIMA KASIH ! 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar