Suatu hari mamie memintaku mengantarkannya
ke pernikahan sepupunya di kota Solo minggu depan. Ternyata, tante tari akan
ikut juga.Hari yang dinantikan itu pun tiba. Setelah kami menjemput Tante Tari
di rumahnya, kami langsung berangkat. Perjalanan kami cukup menyenangkan
kaHarisa cuaca cukup cerah dan tidak macet. Tetapi, di suatu daerah yang
memiliki jalur tanjakan curam dan berkelok kelok, cuaca berubah. Tiba-tiba saja
turun hujan yang sangat deras.
“Haris, ini menurut peta ada jalan pintas
dari sini. Nih lihat bisa kalau kita lewat sini bisa menghindari macet karena
lewat jalan-jalan kecil” kata Tante Tari yang duduk disampingku sambil
menyerahkan hpnya kepadaku. “Kamu yakin Tari ?” Tanya mamie yang terlihat tidak
yakin. “Yakin, tuh lihat mobil-mobil lain juga pada belok kesitu mbak” Tante
Tari membalas. “Gimana Haris ? Mau gak lewat jalan pintas ?” Tanya mamie
kepadaku. “Dicoba dulu deh mam…” jawabku.
Akhirnya kami mencoba jalan itu dengan
harapan untuk menghindari kemacetan dan agar bisa cepat sampai di kota semarang
untuk segera bisa beristirahat. Kami memang sudah merencanakan untuk menginap
dulu di kota Semarang untuk beristirahat dan esoknya melanjutkan
perjalanan.Hujan semakin deras saja dan jarak pandang semakin pendek. Suhu
didalam mobil semakin dingin sehingga mamie memakai jaketnya, sedangkan Tante
Tari tampak merapatkan pakaiannya saja. Kami terus mengikuti jalan yang
terdapat di peta itu, namun lama-lama aku mulai curiga karena suasana jalan
semakin sepi dan sekeliling kami adalah hutan.Aku menjalankan mobil secara
perlahan. Suasana di kanan kiri gelap gulita, hanya tampak bayangan
batang-batang pohon dan semak belukar. Penderitaan lengkap sudah ketika ban
mobil terperosok di tanah yang lunak akibat hujan tadi dan mobilku tak kuat
untuk keluar dari lubang itu. Mesin sudah ku gas penuh tetapi putaran ban yang
kencang itu tetap tidak mampu mendorong mobilku untuk lepas. “Mam…gimana nih,
mobilnya gak bisa jalan” Kataku kepada mamie.
“Kamu sih Tari, asal ambil jalan saja”
Mamie sedikit menyalahkan Tante Tari. “Yah kan aku gak tahu kalau bakal kayak
gini mbak” Tante Tari menjawabnya dengan nada bersalah, kemudian dia mengecek
hpnya dan menggerutu, “Duh sinyalnya hilang lagi”keluhnya. “Mam, tolong pegang
kemudi, Haris mau keluar dorong mobilnya” Ujarku pada mamieku.Dengan masih
ngomel, mamie bertukar posisi di belakang kemudi begitu aku keluar. Hujan
segera membuatku basah kuyub. Sial, gumamku dalam hati. Ban itu begitu dalam
terperosok, membuat setiap usahaku sia-sia selain hanya menghasilkan semburan lumpur
ke celana pendek dan kausku. Kemudian aku sadari, bahwa hanya sekian meter di
belakang mobil adalah sekumpulan pohon-pohon besar, demikian juga di
depan.Sudah dua jam menunggu tetapi hujan tidak kunjung reda. Dari kejauhan aku
melihat suatu cahaya yang bergerak. Lama-lama cahaya itu mulai mendekat. Dari
kegelapan muncul sesosok lelaki paruh baya, memakai caping lebar. Setelah dia
sampai di mobil kami dia mengetuk kaca pintu mobil kami. Aku segera menurunkan
kacanya.
“Ada yang bisa saya bantu, le…?’’, tanyanya
dengan suara yang parau, namun cukup nyaring terdengar di tengah gemuruh hujan
dan guntur malam itu. “Kami kesasar dan mobil kami terperosok pak”, jawabku
setengah berteriak karena biar suaraku tidak kalah dengan suara hujan saat itu.
“Wah susah juga ngedorongnya kalau hujan- hujan gini. Lagian kalau berhasil,
nanti didepan juga bakal terperosok lagi, banyak lubangnya di depan” Balas si
bapak tua itu. Tetapi orang tua itu lantas membantuku mendorong agar mobil itu
keluar dari jebakan lubang. Namun tetap tak berhasil. Kini bahkan akibat
kikisan tanah, seluruh ban mobil itu terperosok. “Sebaiknya tunggu besok pagi
saja, le…kampung terdekat juga jaraknya 15 kilo lebih. Kalau sampeyan mau,
malam ini nginap digubuk saya saja sama anak dan istri saya”, ujarnya dengan
datar namun sepertinya tulus. Daripada aku tinggal di mobil dan tiba-tiba kaca
diketuk kuntilanak atau gendruwo lebih baik aku turuti tawarannya itu. Namun
tentu saja, aku harus minta persetujuan mamie dan Tante Tari dahulu. Setelah
berdebat, akhirnya mereka mau juga. Kami pikir lebih baik berada di tempat yang
kering dan hangat daripada terjebak di dalam mobil.Jalan setapak yang becek di
tengah hutan itu membuat mamie dan tante berkali-kali terpleset, membuatku
berkali-kali harus memapah mereka, tentu saja setelah terlebih dahulu dihadiahi
sumpah serapah mereka. Payung yang mereka bawa terasa jadi percuma, karena tak
mampu mencegah mereka menjadi basah kuyub.
Cukup lama kami berjalan hingga kami
melihat gubuk dari bambu dengan cahaya remang-remang dari dalamnya. Rumah itu
tampak sederhana, pantas si lelaki misterius itu menyebutnya gubuk. Sebuah
rumah limas khas jawa dengan empat tiang kayu di bagian tengah, beratap genteng
tanpa plafon, berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah.Di dalamnya hanya
ada meja kursi tua, dua dipan sederhana dan dua lemari reyot menempel di
dinding. Dua lampu teplok yang kacanya telah menghitam menjadi alat penerang
rumah tersebut, dan satu-satunya alat hiburan adalah radio transistor tua yang
memperdengarkan suara pertunjukan wayang kulit mengiringi gemuruh hujan di
luar, menambah suasana magis semakin terasa di malam itu.Sial bagi Tante Tari.
Dalam cahaya yang remang-remang, tak sengaja aku melihat Tante Tari yang
menggunakan atasan merah jambu, Asesoris hitamnya tampak terceplak karena
akibat bajunya yang basah kena air hujan sehingga membuat pakaiannya menjadi
agak trans-paran. Menyadari akan hal itu, Tante Tari segera menutupinya.Sampai
digubuk itu, tampak sepasang perempuan di atas dipan tengah tertidur, terdiri
dari wanita separuh baya dan satu lagi seorang gadis yang kira-kira seusiaku.
“ayo cepat bangun, ada tamu, cepat bikinkan minum” ujar si bapak membangunkan
isteri dan anaknya.
Dengan segera mereka beranjak bangun
meninggalkan dipan yang hanya beralaskan tikar dan selimut kumal itu. Untuk
ukuran desa sekalipun, si gadis berwajah cukup manis, sementara ibunya sedikit
lebih besar dengan wajah biasa saja. Si anak memakai kain batik lusuh yang
dililitkan menjadi kemben.Sedangkan si ibu memakai kain sarung dari batik yang
hanya diikat sebatas pinggangnya saja, layaknya kebiasaan wanita di desa.Dalam
hati timbul rasa iba di hatiku melihat bagaimana miskinnya mereka, sekaligus
juga bertanya-tanya bagaimana mereka bisa tinggal di tengah hutan dan terpencil
seperti ini…? “kalian basah kuyub semua, sebaiknya ganti pakaian daripada masuk
angin, silahkan ke belakang saja, kalau mau buang air dan bersih-bersih juga
ada sumur” ujar si bapak itu.
Aku segera menyambar ranselku, tapi mamie
dan Tante Tari saling bertatapan bingung, tentu saja, mereka meninggalkan tas
pakaian mereka di bagasi mobil. Sial, nampaknya aku lagi yang harus
mengambilnya. Namun sebelum perintah mereka keluar, si lelaki itu berkata,
“kalau mau biar pakai pakaian anak dan
isteri saya saja, maaf kalau kurang berkenan” Aku menatap mamie dan Tante Tari
dengan wajah memelas, berharap tidak diberi tugas untuk mengambil baju mereka
di mobil.Mereka berdua akhirnya mengangguk. ”Maaf lho pak kalau ngerepotin”
ujar Tante Tari.Dari dalam lemari reotnya itu si bapak mengeluarkan setumpuk
pakaian. Setelah dilihat, pakaian tadi hanya berupa dua lembar kain batik yang
agak using dan dua kaus lusuh. “Maaf bu, hanya ini pakaian yang kami punya”,
kata si bapak menjelaskan.Mamie agak kaget sebenarnya saat itu, namun dalam keadaan
seperti ini mamie harus menerimanya. “Tidak apa apa pak, makasih ya” Mamie dan
Tante Tari saling berpandangan. Setelah itu pembicaraan singkat terjadi antara
Tante Tari dan mamie.
“mamie sama tante duluan ya” ujar mamie
tiba-tiba kepadaku sambil bergegas dengan menggamit tangan tante tari ke bagian
belakang rumah yang dibatasi oleh dinding papan itu. Aku menunggu dengan duduk
di kursi tua itu, sang lelaki paruh baya itu juga duduk di hadapanku sambil
melinting temba-kau dengan kertasnya dan menyalakan roko’ nya itu.Wajahnya
nyaris tanpa ekspresi, namun sorot matanya sangat tajam dan berwibawa. dia juga
tampak kekar menggambarkan kalau dia adalah seorang lelaki yang ulet. “Maaf,
kalau boleh tahu, nama bapak siapa ?” tanyaku mencoba basa basi.
“Panggil saja Pak Simo” jawabnya sambil
menghembuskan asap roko’ lintingannya yang beraroma aneh itu. “Enngh… bapak
sudah lama tinggal di sini ?’’ tanyaku lagi. “Lebih dari tiga puluh tahun”
jawabnya singkat. ”Ini satu-satunya tanah warisan bapak saya dulu, pekerjaan
saya buruh tani dan sesekali ngobati orang” ujarnya lagi seolah-olah sudah tahu
pertanyaanku berikutnya, walau aku sedikit tertegun dengan perkataan ngobati
orang, tapi untuk tak menyinggungnya hal itu urung aku tanyakan.Tak lama
kemudian Mamie dan Tante Tari kembali dengan memakai kaus lusuh dan menggunakan
kain batik itu sebagai sarung. Sehingga menampakkan keindahan mereka berdua.
Ditambah, kaus yang dipakai oleh mereka mempunyai beberapa robekan. Mamie dan
Tante Tari tampak risih dengan penampilan mereka itu karena khawatir
pemandangan indah itu akan membuat si bapak tua itu gelisa-h.
“Kamu jangan ke belakang dulu,Haris” ujar
mamie yang menyadari akan keadaannya itu. Akhirnya mamie kembali ke belakang
dan kembali keluar dengan hanya menggunakan kain yang diikat menjadi kemben.
Tante Tari pun menyusul melakukan hal yang sama.Selain itu, kemben yang mereka
pakai ternyata tetap tak mampu menutupi seluruh keindahan mereka berdua.Melihat
pemandangan itu aku mulai berdesir dan keinginanku jadi bangkit. Tapi aku
berusaha menjauhkan perasaan itu. Untuk itu, aku langsung beranjak ke belakang
untuk berganti pakaian dengan kaus dan celana dari ranselku.Mamie dan tante
tengah bercakap-cakap dengan lelaki pemilik rumah itu ketika aku tiba dari
belakang. Aku segera bergabung. Pak Simo meladeni ocehan mereka dengan datar
dan singkat. Matanya tajam menatap mamie dan tante, membuat mereka tampak rikuh
dan mengurangi intensitas omongan mereka. Aku duduk diantara mamie dan tante
tari. “Silahkan diminum mas, bu”, kata si anak sambil senyum penuh arti. Kurasa
senyum itu ditujukan kepadaku. Si anak gadisnya kemudian duduk di dipan yang
berseberangan dengan dipan kami. Disitu sudah ada si bapak dan si ibu yang
sudah duduk duluan.
“Maaf bu, mas, hanya ini yang bisa kami
sediakan”, kata si bapak ketika kami sedang menyantap hidangan yang mereka
berikan.Minuman yang mereka sediakan adalah wedang jahe dan singkong rebus,
cukup menghangatkan kondisi kami di tengah rintik hujan yang entah kapan akan
reda.
“Tidak apa-apa pak, maaf sudah ngerepotin”
kata Tante Tari. “Nama saya Simo, ini istri saya namanya Sekar, dan anak saya
Asih, dia baru 18 tahun”, si bapak mengenalkan dirinya.Wow pikirku, gadis 18
tahun sudah secantik itu. “Kalian bisa bermalam disini dulu, nanti pagi
sepertinya hujan sudah reda” kata Bu Sekar. “Gimana Mbak ?” Tanya Tante Tari.
“Ya sudah gak papa, toh kita emang harusnya mau nginep dulu semalem di
Semarang” jawab mamie.Bincang bincang kami terus berlanjut hingga malam makin
larut. Kemudian mamie dan Tante Tari pamit untuk tidur. Sementara itu Pak Simo
menyalakan roko’ nya dan keluar dari gubuk itu. Bu Sekar dan Asih bersiap tidur
di dipan mereka yang tadi, sementara itu baik aku, mamie dan Tante Tari tidur
di dipan yang tadi kami duduki.Malam semakin larut tapi aku tidak bisa tidur.
Aku merasakan ada hal yang begitu aneh, aku merasakan kalau diriku semakin
hangat dan keinginanku semakin menyala, apalagi disekelilingku ada empat wanita
yang hanya memakai pakaian minimalis begitu. Aku juga melihat mamie dan tante
tari yang sudah terlelap pun tampak mulai seperti orang gelisah. mereka berdua
mulai tidak bisa diam dan juga mualai bersuara dengan pelan.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya di
rumah ditengah hutan di malam itu ?
NANTIKAN TERUS KISAH SERUNYA YA GUYS ! SEKIAN & TERIMA KASIH !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar