Karena malam itu aku merasa tidak nyaman,
aku pun memutuskan untuk keluar dari gubuk itu untuk mengobrol dengan Pak Simo.
Aku kemudian memulai percakapan basa-basi dengan pak simo. Hingga pada akhirnya
sampailah ke percakapan yang mengubah hidupku. “Kalian gak mungkin bisa keluar
dari hutan ini ” ujar Pak Simo mengagetkanku. ”Maksud bapak ?”tanyaku
penasaran. “Kamu pasti sadar kan ? Kendaraan kalian ada di tengah hutan, bukan
di atas jalan” jawabnya dengan suara parau dan datar.Aku mulai bergidik
mendengar penjelasannya itu. ”Ada kekuatan gaib yang membawa kalian ke sini,
makanya saya bilang kalian harus kulo nuwun kalau melewati hutan ini” ujarnya
lagi membuatku kian memucat.
“Terus kami harus bagaimana pak ?” tanyaku
setengah bergetar. “Kalian saat ini berada 15 km dari jalan, mau lewat jalan
kaki pun butuh seharian, itupun kalau kalian tidak kesasar” ujarnya lagi.
“Terus kenapa bapak bisa tinggal di sini ?’’ tanyaku. “Hmm… ceritanya panjang,
tapi katakanlah ini adalah hal turun -temurun yang harus kami lakukan, dan
katakanlah musuh kami itu banyak sehingga harus tinggal di sini”jawabnya sambil
menghisap lintingan roko’ nya itu dalam-dalam. “Terus bapak bisa bantu kami
keluar dari sini ?’’ tanyaku setelah terdiam beberapa saat. “Dengan satu syarat
” jawabnya. “itupun jika kamu mau” lanjutnya lagi. “Hmmm… asal gak memberatkan
saya mau pak, kami juga bawa uang yang cukup lho pak” ujarku terbata-bata.
“Kami biasa hidup tanpa uang nak, kami tidak butuh uang kalian” ujarnya dengan
mimik misterius. “Terus saya harus bagaimana pak ?”tanyaku setengah mengharap.
”Hmmm… kita akan melakukan beberapa
permainan yang menyenangkan. Nah, empat wanita itu syaratnya” jawabnya tegas.
“Maksudnya pak ?” tanyaku semakin penasaran. “Dari tadi saya perhatikan kamu
selalu menatap anak dan istri saya ”ujarnya. Wah, berabe juga kalau aku harus
menikahinya walau memang aku akui mereka cukup manis. “Sampeyan suka mereka
?”tanyanya.
”Ya suka sih pak, tapi…?”belum selesai aku
menjawab,tapi sudah disanggah oleh lelaki tua itu.
“Saya gak meminta kamu menikahi anak
saya”sahutnya seolah-olah tahu apa yang aku pikirkan.
”Terus bagaimana pak ?” tanyaku lagi.
“Sampeyan mau bersenang-senang dengan Asih sama istri saya malam ini ?”tanyanya
dan membuatku seolah terloncat dari kursi reot itu.Dalam hati sebenarnya di
usia remaja yang sarat hormon ini, aku ingin sekali melakukannya apalagi malam
itu sedang turun hujan,tetapi aku merasa tidak tega juga sama mamie dan tante
tari kalau harus dengan bapak tua itu.
“Tapi pak, bagaimana dengan mamie dan tante
saya ?” Tanyaku. “Sebagai sesama lelaki…”dia menghisap dalam-dalam roko’ nya
lalu menoleh ke dalam, ke arah dipan di mana mamie ku dan Tante tari tidur.
”Mereka cantik-cantik dan menarik, apakah sampeyan keberatan kalau saya dengan
mereka ?’’sahutnya.
Aku tentu saja kaget dan merinding,
pertanyaannya bagaikan guntur yang tengah menyambar-nyambar di luar ”Aaaa…” ucapanku terpotong. ”Ya kalau
sampeyan keberatan dengan syarat bapak ini silahkan cari jalan keluar sendiri’’
tukasnya. Aku benar-benar dihadapkan pada buah simalakama,tapi mereka berdua
adalah keluargaku yang aku sayangi dan cintai. Shit… apa yang harus aku lakukan
?
“Dengan syarat, bapak tidak akan menyakiti
mamie saya dan tante saya kan ?” lanjutku.
Pak Simo tak berkata apapun tapi langsung
masuk ke dalam rumah dan menuju dipan di mana anak dan istrinya tidur dan
membangunkan mereka dan berkata, ”Ayo nyambut gawe, kamu senangkanlah mas mu
itu malam ini, istriku ayo bantu aku” ujar Pak Simo. Aku pun mengikuti Pak Simo
masuk ke dalam.
Tak lama kemudian istri Pak Simo bangkit
mengikuti Pak Simo yang berjalan ke arah belakang rumahnya.Asih, anak gadisnya
segera mendekatiku dengan wajah tanpa ekspresi kemudian mendorongku hingga
terduduk di dipan dan Langsung saja memulainya.Aku sangat gugup saat itu karena
ini adalah pengalaman pertamaku dengan seorang wanita yang misterius. Asih
melakukannya dengan senyumnya yang juga misterius. Aku pun tidak bisa
memungkirinya kalau saat itu dengan cepat aku sudah terbawa suasana romantis
yang diciptakan oleh Asih itu, tetapi aku berusaha untuk tidak mengeluarkan
suara karena takut mamie dan tanteku terbangun. Asih tampak begitu
berpengalaman dan senang sekali mendapatkannya malam itu,sepertinya sudah lama
sekali dia tidak mendapatkannya,yah…..siap juga yang akan ke dalam hutan
seperti ini kalau tidak karena nyasar seperti aku ini.Pegerakkanku dengan Asih
membuat dipan reot ini berderit-derit. Aku sudah tak peduli lagi jika
seandainya mamie dan Tante tari terbangun, karena keinginanku sudah berada diubun-ubun.Selintas
kulirik mamie dan tante tari yang masih terlelap nyenyak, dada mereka yang
penuh itu naik turun seiring tarikan nafasnya. Tiba-tiba aku lihat Pak Simo
kembali masuk diikuti istrinya, istrinya membawa sebuah tungku dan kendil
kecil, seolah mereka tak memperdulikanku, mereka mendekati dipan yang ada di
depan ku, sontak ruangan gubuk itu dipenuhi aroma kemenyan. istrinya lantas
berjalan berkeliling memutari dipan mamie dan Tante tari, sementara Pak Simo
hanya berdiri sambil komat-kamit seperti membaca mantra.Kemudian Pak Simo duduk
bersimpuh di antara mamie dan tante tari, meniupkan asap kemenyan ke wajah
mamie dan Tante tari, kemudian memercikan sedikit air pada mereka berdua. Usai
melakukan ritual, perlengkapannya kemudian dibawa istri Pak Simo ke belakang.
Semuanya tak lepas dari pandanganku. Lagi pula, jarak antara dipan itu tidak
lebih dari 1,5 meter saja sehingga aku bisa melihat jelas apa yang ada di dipan
sana.Dan inilah saat yang aku tunggu, di seberang sana, dengan perlahan Pak
Simo melepaskan ikatan kemben mamie,lalu menurunkannya ke bawah.Setelah itu Pak
Simo berjalan ke sisi dipan berikutnya, dengan segera dia juga melakukan hal
yang sama pada tante tari.
Anehnya, tidak ada perlawanan dari mamie
dan tante tari kala itu. Tampaklah semua keindahan yang selama ini telah di
jaga dengan baik oleh mamie dan tante tari itu di hadapan lelaki tua itu.Pak
Simo dengan kah-sar mulai mengerjakan apa saja yang dikehendakinya pada kedua
orang yang aku cintai itu. Sampai kemudian terlihat tante tari mulai kelihatan
bergerak dengan geli-sah, meski mata masih terpejam,tetapi mulutnya mulai
mengelarkan suara-suara yang syahdu. Suasana romantis namun penuh mistis yang
bercampur dengan magis memenuhi seantero rumah gubug itu, suara rintik hujan
dipadu dengan suara syahdu tante tari dan sayup-sayup suara dalang wayang kulit
dari radio butut bagai orkestra yang memacu semangat pak tua itu. Tindakan pak
simo itu berakhir ketika Tante tari sudah mendapatkannya. Sadar kalau
keinginanku semakin meningkat,Asih pun bangkit dan bersiap-siap untuk
penyempurnaan. Dengan sabar dia berusaha membuatku benar-benar merasa nyaman
dan melayang di malam itu,tentu saja aku tidak tinggal diam.Aku pun memberikan
balasan yang mampu membuatnya semakin melayang dan tak sabar lagi.Tetapi disaat
aku tengah terlena dengan Asih aku merasa ada yang aneh dan setelah aku lihat
ternyata ibunya telah ikut nimbrung membantu Asih.Aku terus saja memberikan
balasan pada Asih yang semakin romantis saja malam itu.Bulir-bulir keringat
mulai muncul di permukaan kulit kami bertiga, suasana dingin malam itu menjadi
hangat. Kemudian aku merasa tidak sabar lagi inginkan diri Asih seutuhnya,
tetapi ketika aku ingin bangkit untuk merubah posisiku dapat aku rasakan
gerakan Asih yang menolak tindakanku itu.Disaat yang bersamaan, Pak Simo
terlihat sudah selesai dengan Tante tari. Pak Simo bangkit berdiri berjalan
memutar menuju di mana mamie tidur, meninggalkan Tante tari. Kini giliran ibu
kandungku yang akan menerima bonus dari pak simo.pada saat itu pula aku sudah
tak bisa berlama-lama lagi dengan ulah ibunya Asih.Sensasinya itu terus
berlanjut dan membuatku beneran tak berdaya.Sama seperti Tante tari tadi, kini
mamie pun mendapatkannya dari pak simo.Pemandangan itu membuatku yang tadinya
layu mulai bangkit kembali secara perlahan. Dan malam itu kejutan belum
berakhir, ibunya Asih muncul dari belakangku dan mendekatiku.Malam itu suasana
di dalam gubuk di tengah hutan itu semakin romantis walau penuh aroma mistis.Malam
itu setelah semuanya berjalan dengan sempurna aku rasa.aku pun segera bertanya
pada pak simo, “Bagaimana pak ?” Tanyaku. “Bagus…tetapi syaratnya masih belum
selesai, masih ada acara yang lebih menarik lagi…”jawabnya santai sembari
menghembuskan asap roko’ lintingannya itu. “Lalu kapan kami bisa keluar dari
sini pak ?!” Tanyaku mulai emosi. “Ha ha ha orang-orang yang tersesat di sini
biasanya baru bisa keluar dari sini ketika malam purnama tiba” jawab Pak Simo
dengan nada mengejek.
“Tapi sampeyan cukup beruntung, purnama
akan datang besok malam, sampeyan mungkin bisa keluar dari sini besok
paginya,tentu saja kalau sampeyan masih mengikuti syarat-syarat itu”tambahnya.
Aku berpikir keras, tak mungkin aku kabur
sementara mamie dan tante tari tak berdaya di gubuk ini. Aku juga bergidik
membayangkannya, bagaimana nasib orang-orang yang terjebak saat purnama telah
berakhir, bisa-bisa sebulan mereka terperangkap di sini karena purnama
selanjutnya baru datang bulan depannya.Pagi harinya aku terbangun oleh sinar
matahari yang menyilaukan mataku yang masuk dari sela-sela dinding gubuk itu.
Sudah tidak ada Asih, Bu Sekar, mamie dan Tante tari. Sepertinya mereka telah
bangun lebih dahulu. Aku bangkit dan memakai celana pendekku dan ketika aku
sampai di pintu, aku tertegun melihat dari kejauhan mamie dan Tante tari sedang
berjongkok di samping sumur rumah itu.Kemudian Pak Simo menimba di sumur itu
dan menyiramkan airnya ke mamie dan Tante tari yang masih berjongkok.
Setelahnya Pak Simo masuk ke dalam rumah. Aku mendekati mereka berdua. Wajah
mereka sayu. Tatapan mata dan perangai mereka seperti orang sadar tetapi
sesungguhnya mereka masih dalam pengaruh guna-guna Pak Simo sehingga yang
tersisa dari kedua wanita yang aku cintai dan sayangi ini adalah keinginan yang
diluar kesadaran mereka. “Sekarang cepat pakaikan mamie dan tante sampeyan
kemben ini !” perintah Pak Simo sambil memberikan kain batik itu kepadaku.
“Habis ini kita akan mandi”tambahnya. Dengan cekatan aku memakaikan kemben it ke
mereka berdua. Tetapi tak hanya kain itu yang diberikan oleh Pak Simo, tanpa
menjelaskan gunanya dia juga memberikanku sebuah gunting karatan. Aku
menyimpannya di kantong celana pendekku. “Ayo ikuti saya !” perintah Pak Simo.
Kami bertiga mengikuti langkah Pak Simo. Bu
Sekar dan Asih tidak ikut. Kulihat dari atap belakang rumah keluar kepulan
asap, sepertinya mereka sedang memasak. Padahal aku ingin sekali mandi dengan
mereka.Akhirnya kami berempat jalan kaki menyusuri hutan. Sekitar 20 menit
berjalan aku mendengar suara gemuruh air terjun. Tak lama kemudian aku melihat
pemandangan yang indah sekali. Komposisi susunan pohon-pohon hijau, batu-batu
kali dan air yang jernih nan deras serta suara jangkrik yang bersahutan
menambah suasana indah di pagi ini.Untuk mencapai sungainya, dari jalan setapak
tempat kami berdiri sekarang, kami perlu menuruni tebing yang lumayan curam
dengan tangga bebatuan yang cukup licin. Sesampainya di bawah, tak butuh waktu
lama kami berempat segera masuk ke air yang jernih itu. Aku dan Pak Simo tidak
melepaskan celana pendek kami, mamie dan tante tari juga tidak melepas
kembennya. Tidak lama kemudian datanglah 4 orang yang bertampang seperti
pekerja kah-sar, aku tebak mereka adalah petani atau bisa juga penebang hutan.
Mereka masih berdiri di atas tebing itu. Mereka tampak sedikit kaget juga
terkagum-kagum melihat pemandangan indah di dalam air itu.Tapi aku biarkan saja
mereka menikmati pemandangan indah itu dari mamie ku dan Tante tari.Pak Simo
kemudian keluar dari air dan mendekati 4 orang itu. Pakaian orang asing itu
compang-camping, terlihat urat-urat dan otot di lengan mereka. Mereka ngobrol
dengan Pak Simo tetapi matanya tak lepas dari kami sambil menunjuk-nunjuk kami.
Wajah mereka mengangguk-angguk dan juga tersenyum penuh misteri.Dengan tidak
aku hiraukan kedatangan orang asing itu, aku suruh Mamie dan Tante tari naik ke
bebatuan untuk mengeringkan diri. Aku mendekati mereka. Aku mengambil gunting
karatan yang diberikan Pak Simo tadi.Aku memangkas rumput-rumput keriting
mereka satu-persatu, dimulai dari mamie tentunya. Aku mencukurnya dengan
telaten. Tetapi aku kembali lagi tak bisa membiarkan keindahan itu begitu
saja,akhirnya setelah selesai aku ajak mamie dan tante tari masuk kembali ke
dalam air itu dan Kami melakukannya di dalam air yang dalamnya hanya sebatas
perut kami itu.Siapakah 4 orang itu dan apakah yang akan terjadi padaku dan
mamie ku dan juga tante tari selanjutnya ? apakah kami bertiga akan segera bisa
bebas dari dalam hutan itu ? ataukah bagaimana ?
NANTIKAN TERUS KISAH SERUNYA YA GUYS ! SEKIAN & TERIMA KASIH !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar